JAKARTA – Di tengah dominasi permainan digital dan olahraga modern yang semakin populer di kalangan generasi muda, sebuah permainan tradisional khas Nusantara bernama Ball Budhi justru kembali mencuri perhatian. Masyarakat Sumenep, Jawa Timur, terutama para pemuda dan perempuan, mulai menunjukkan antusiasme tinggi terhadap olahraga warisan budaya ini.
Ball Budhi, permainan tradisional yang mengandalkan ketangkasan, strategi tim, serta semangat kebersamaan, kini kembali hidup berkat inisiatif komunitas lokal yang berkomitmen melestarikan budaya. Tak hanya sekadar permainan, Ball Budhi telah menjadi simbol pelestarian nilai-nilai lokal dan alat untuk mempererat hubungan sosial antarwarga.
Ketua Persatuan Olahraga Ball Budhi Sumenep (POBBS), Syafiudin, mengatakan bahwa kegiatan lomba Ball Budhi secara rutin diselenggarakan untuk menjaga eksistensi olahraga ini di tengah modernisasi yang pesat.
“Benar mas, kami memang menjadwalkan lomba Ball Budhi tiga kali dalam setahun. Tujuannya supaya anak muda dan para perempuan juga tertarik, sehingga olahraga tradisional ini tetap lestari di tengah arus modernisasi,” ujar Syafiudin.
Strategi Pelestarian Budaya Lewat Permainan
Permainan ini tidak hanya berfungsi sebagai ajang kompetisi fisik, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat identitas lokal dan nilai-nilai gotong royong. Ball Budhi dimainkan secara berkelompok di lapangan terbuka, dengan aturan yang sederhana namun menuntut kecermatan dan kerja sama antarpemain.
Syafiudin menjelaskan, meski tampak sederhana, permainan ini memiliki aturan main yang khas dan unik. Dalam satu sesi permainan, pemain melempar bola ke arah belakang sambil membelakangi lawan. Jika bola yang dilempar masuk ke dalam garis namun tidak berhasil ditangkap oleh lawan, maka tim pelempar akan memperoleh poin.
“Cara mainnya, bola dilempar ke arah belakang sambil membelakangi lawan. Kalau bola itu masuk ke dalam garis dan tidak berhasil ditangkap oleh lawan, maka pemain dapat poin. Kalau mau lihat langsung, silakan datang ke Kecamatan Kalianget,” jelasnya.
Dengan pendekatan ini, Ball Budhi tidak hanya menciptakan atmosfer kompetitif yang sehat, tetapi juga membangkitkan kembali memori kolektif masyarakat tentang permainan yang dulu sangat populer di masa kecil.
Daya Tarik di Tengah Gempuran Digitalisasi
Bangkitnya minat terhadap permainan tradisional seperti Ball Budhi juga menjadi sinyal positif di tengah kekhawatiran masyarakat akan lunturnya budaya lokal akibat masifnya penetrasi teknologi dan hiburan digital. Meskipun gawai dan game online mendominasi keseharian anak-anak dan remaja, kehadiran olahraga seperti Ball Budhi mampu menjadi alternatif edukatif dan menyenangkan.
“Permainan ini memberi ruang untuk olahraga fisik yang menyenangkan dan bisa mempererat hubungan sosial,” tambah Syafiudin.
Masyarakat pun menyambut baik inisiatif penyelenggaraan lomba rutin. Pemerintah desa hingga tokoh masyarakat setempat turut mendukung dengan memberikan fasilitas lapangan, perlengkapan permainan, hingga hadiah pembinaan bagi tim pemenang.
Antusiasme Kaum Muda dan Perempuan
Yang menarik, kebangkitan Ball Budhi juga menyasar kalangan yang sebelumnya kurang tersentuh oleh olahraga fisik tradisional, yakni perempuan muda. Dalam beberapa gelaran pertandingan, terlihat banyak peserta perempuan yang berpartisipasi aktif, baik sebagai pemain maupun pendukung tim.
Fenomena ini menunjukkan bahwa permainan tradisional bisa menjangkau lintas generasi dan gender, asalkan diberikan ruang dan pendekatan yang sesuai.
“Kami ingin menunjukkan bahwa olahraga tradisional itu tidak ketinggalan zaman. Dengan pengemasan yang menarik, anak-anak muda bisa sangat antusias,” kata Syafiudin.
Potensi Budaya dan Pariwisata
Dengan semakin dikenalnya kembali Ball Budhi, tidak menutup kemungkinan permainan ini akan dikembangkan menjadi daya tarik wisata budaya. Apalagi, Sumenep dikenal sebagai salah satu daerah dengan kekayaan budaya yang melimpah di Madura.
“Kalau dikelola dengan baik, Ball Budhi bisa jadi bagian dari atraksi budaya lokal. Kita bisa tampilkan dalam event pariwisata daerah atau festival budaya,” pungkas Syafiudin.